Saturday, February 9, 2013

KENAPA HWANA DAN TEN-NANG SALING BENCI???



Bangsa Cina mendarat di Indonesia pada abad ke 5, di pesisir pantai Jawa Timur. Mereka adalah pedagang yg berlayar untuk mencari rempah2, dan kemudian karena satu dan lain hal, mereka menetap di Indonesia dan berasimilasi dengan penduduk setempat. Para pedagang Cina ini juga diyakini sebagai yg membawa agama dan tradisi Islam masuk ke Indonesia, karena berkat Jalan Sutra, agama Islam yg berasal dari Arab, masuk ke Cina melalui India. Bahkan menurut sejarah, beberapa orang dari Wali Songo adalah keturunan Cina seperti Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, dan Sunan Gunung Jati. Hal ini merupakan sesuatu yg ironis di masa pada jaman sekarang hanya sedikit orang Tionghoa yg memeluk agama Islam. Mengapa bisa demikian?
Pada jaman Kolonial Belanda, tahun 1680, para pedagang Tionghoa memegang peranan penting dalam perekonomian di Batavia. Bahkan usaha penjajah untuk memonopoli pun terhambat dan mereka terpaksa berbisnis dengan para pedagang Tionghoa tersebut. Akibatnya, penjajah merasa terancam karena keberadaan orang Tionghoa secara tidak langsung menyokong kehidupan pribumi di Indonesia, dan jika orang Tionghoa dan pribumi bersatu untuk melawan, para penjajah akan kewalahan. Karena itulah, para penjajah berusaha mengadu domba pribumi dan orang Tionghoa, dan mereka berhasil.

Pada tahun 1740, karena krisis ekonomi yg disebabkan oleh turunnya harga gula di pasar global, Belanda hendak mengikis upah gaji para pekerja dengan cara memindahkan para kuli, yg sebagian besar adalah pribumi, ke Afrika. Padahal maksud sebenarnya adalah mereka bermaksud membuang para kuli itu ke laut lepas diam2. Entah bagaimana caranya, isu tersebut tersebar dan para pedagang Tionghoa di Batavia, menggalang kekuatan untuk menyerbu kapal2 Belanda tersebut. Pertumpahan darah pun tidak dapat dielakkan.

Akibat perlawanan tersebut, Belanda mengeluarkan perintah untuk memeriksa dan melucuti para pedagang Tionghoa, namun yg terjadi sebenarnya adalah pembantaian besar2an di mana dalam 3 hari, 50.000-60.000 orang Tionghoa dibunuh. Belanda juga mengeluarkan dekrit bahwa orang Tionghoa lah yg berencana membunuh para kuli pribumi dan mereka seolah2 bertindak sebagai penyelamat bagi orang2 pribumi. Kemudian Belanda juga menjanjikan imbalan bagi setiap kepala orang Tionghoa yg berhasil dibunuh. Inilah awalnya perselisihan antara Tionghoa dan pribumi. Nama "Kali Angke" yg ada di daerah Jakarta Utara berasal dari kata "Sungai Merah" yg menggambarkan kejadian pembantaian saat itu di mana sungai2 menjadi warna merah oleh darah Tionghoa.
Pada jaman perang kemerdekaan, orang Tionghoa juga berperan penting dalam perjuangan melawan menjajah di mana dalam BPUPKI terdapat 6 orang Tionghoa yg berkontribusi dalam pembentukan UUD'45. Hanya sedikit orang Tionghoa yg terjun langsung pada konflik bersenjata karena pada saat itu jumlah mereka hanya sedikit. Pada jaman agresi militer, Belanda dan Jepang melakukan blokade terhadap impor barang2 kebutuhan seperti sabun dan peralatan memasak. Orang Tionghoa memegang peranan besar dalam menyelundupkan barang2 itu masuk ke dalam negeri. Namun karena situasi negara saat itu sedang kacau, tidak ada catatan jelas mengenai hal itu sehingga peranan Tionghoa dalam perjuangan meraih kemerdekaan menjadi blur.
Tahun 1955-1965, perselisihan pun terjadi antara pribumi dan Tionghoa di mana Tionghoa dituduh "tidak patriotik" dan tidak ikut serta dalam perang meraih kemerdekaan. Pemerintah Indonesia saat itu pun akhirnya mengeluarkan peraturan yg membatasi peran Tionghoa dalam politik. Hal itu menyebabkan orang Tionghoa pun lebih fokus dalam bidang perdagangan dan industri. Kemajuan para Tionghoa dalam perekonomian ternyata kembali menyebabkan perselisihan di mana para Tionghoa dituduh sebagai agen kolonial dan menerima suap. Pemerintah pun memerintahkan para pedagang Tionghoa untuk menutup usahanya di kota2 besar dan memindahkan mereka dengan paksa ke daerah2 seperti Kalimantan dan Palembang. Saat itu kurang lebih ratusan ribu orang Tionghoa "dibuang", dan 42.000 yg dituduh membangkang dibunuh.
Sebagai protes, banyak orang Tionghoa yg mencoba pulang kembali ke negara asalnya, hanya untuk menemukan bahwa mereka tidak diterima di sana karena dianggap sudah "tidak berdarah murni" Hal ini menyebabkan orang2 Tionghoa di Indonesia kehilangan jati diri, karena mereka bukan Indonesia dan juga bukan Cina. Akhirnya sebagian dari mereka pindah ke negara2 lain seperti Malaysia, Singapura, dan Brazil.
Pada jaman pemerintahan Soeharto, orang Tionghoa di Indonesia diharuskan mengganti nama mereka dengan nama Indonesia. Hal ini merupakan sesuatu yg sangat pedih karena mereka menjadi kehilangan marga dan nama keluarga mereka. Segala tradisi yg berbau Cina diharamkan, dan bahasa Mandarin pun dilarang karena mereka dituduh menyebarkan paham komunis. Di beberapa daerah juga hal ini disangkut pautkan dengan agama di mana orang Tionghoa dianggap tidak menghormati agama Islam dan tradisi muslim dan dibunuh. Pada periode 1965-1975, aparat dapat dengan seenaknya mengeksploitasi orang Cina dengan merampok dan memperkosa keluarga mereka. Cara satu2nya untuk survive pada masa itu adalah dengan menyogok.Bahkan para Tionghoa yg berjasa bagi Indonesia pun ditangkap, dipenjara, dan dibunuh, dan hal ini menyebabkan orang Tionghoa menjadi memisahkan diri dengan Indonesia. Mereka tidak senang disebut sebagai warga "Indonesia" Hal ini terjadi hingga hari ini. Walaupun generasi muda saat ini tidak seekstrim leluhurnya dalam menjalani tradisi Tionghoa, tapi tetap mereka merasa berbeda dan menjaga jarak dengan pribumi. Budaya mereka menjadi lebih kebarat-baratan, karena banyak orang tua Tionghoa memilih untuk menyekolahkan anak mereka ke Amerika atau Eropa.
Pada kerusuhan 1998, orang Tionghoa dituduh menjadi biang krisis ekonomi dan KKN di Indonesia karena mereka sering menggunakan sogokan untuk mendapatkan kemudahan dari pemerintah. Ratusan ribu orang Tionghoa di Indonesia, dibunuh, diperkosa, dan milik mereka dijarah massa. Hal ini menyebabkan banyak orang Tionghoa memutuskan untuk lari dari Indonesia, dan pindah ke negara2 tetangga seperti Australia dan New Zealand. Dan bahkan setelah reformasi, sebagian besar memutuskan untuk tidak kembali ke Indonesia karena mereka menemukan bahwa negara2 barat lebih menghormati hak2 mereka ketimbang Indonesia.

Setelah reformasi, pada masa pemerintahannya, Gus Dur mencabut larangan bagi orang Tionghoa untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Kwik Kian Gie dijadikan menteri perekonomian. Gus Dur juga memberikan ijin bagi orang2 Tionghoa untuk menjalankan tradisinya tanpa harus meminta ijin kepada pemerintah. Pada masa pemerintahan Megawati, hari raya Imlek pun ditetapkan sebagai hari libur nasional.

Setelah 45 tahun dilarang di Indonesia (sejak tahun 1965), pada tahun 2000, Metro TV menjadi stasiun TV pertama yg menggunakan bahasa mandarin. Pada tahun 2006, pemerintah mengeluarkan undang2 yg menghapus segala perbedaan antara Tionghoa dan pribumi. Dan pada tahun 2007, SBY meresmikan istilah "Tionghoa" sebagai nama bagi penduduk keturunan Cina di Indonesia.

---

So, setelah membaca uraian di atas, bisa kita lihat bahwa pada awal mulanya, orang Tionghoa dan pribumi hidup berdampingan. Diskriminasi terjadi akibat usaha penjajah untuk memecah belah Indonesia. Berbagai usaha perbaikan telah dilakukan oleh pemerintah, namun luka yg telah mendarah daging selama berbagai generasi tidaklah semudah itu untuk dihapuskan.

Marilah kita sebagai generasi muda, belajar dari kesalahan pada leluhur kita, untuk bersikap kritis. Jangan mudah diadu domba oleh pihak2 yg tidak bertanggung jawab. Diskriminasi adalah sebuah hal yg menginjak2 martabat dan hak asasi manusia, dan perbedaan SARA adalah sebuah kekayaan budaya bangsa yg harus kita hargai. Satu nusa, satu bangsa. Bhinneka Tunggal Ika. sumber

1 comments:

Unknown said...

Betul setuju bgt, harus bersatu, jangan beda"in lah, jangan mudah terhasut, jangan rasis.. Hidup damai kan enak.