Monday, December 21, 2015

5 alasan kenapa banyak Manajer IT di Indonesia yang perlu ‘diganti’


Alasan Manajer IT di Indonesia perlu diganti

Sebelum kita melihat bagaimana manajer-manajer di Indonesia dapat meng-upgrade dirinya dan menjadi relevan di era informasi ini, marilah kita mengklasifikasikan pemimpin terlebih dahulu, karena manajer termasuk dalam golongan pemimpin. Untuk mempermudah, saya hanya akan membagi pemimpin menjadi tiga tingkatan.
apa itu scrum ??
Scrum adalah sebuah kerangka kerja sederhana dimana orang-orang yang akan bekerja dapat menyelesaikan masalah-masalah kompleks dan dapat mengembangkan produk dengan nilai setinggi mungkin secara produktif dan kreatif.
Setelah kita tahu model-model pemimpin marilah kita lihat kenapa banyak manajer IT di Indonesia yang harus ‘diganti’.

1. Manajer di Indonesia lebih suka memberikan instruksi daripada tujuan (goal)

Bukankah tugasnya manajer adalah memberikan instruksi kepada bawahannya? Instruksi tidak menghasilkan engagement, instruksi akan menghasilkan submission. Orang-orang yang tunduk pada perintah tidak akan menjadi orang-orang yang kreatif dan bisa berpikir out-of-the-boxtetapi cenderung pasif dan bloon. Orang-orang yang pasif akan selalu menunggu instruksi, dan bila itu menjadi kebudayaan dalam organisasi maka itu sebenarnya tidak sehat bagi organisasi yang bersangkutan. Oleh karena itu dalam training Scrum yang saya jalankan di Indonesia saya selalu saja menemukan orang-orang yang mempertanyakan pertanyaan dengantemplate seperti berikut:

Boleh tidak kita melakukan … dalam Scrum? Apakah salah bila kita melakukan … dalam Scrum?
Itulah produk dari metode pendidikan satu arah dari sekolah dasar hingga universitas, kepemimpinan model top-down dan metodologi tradisional Waterfall yang sudah meresap di dalam benak pikiran orang-orang Indonesia: orang-orang yang lebih sering mempertanyakan “boleh atau tidak” daripada “membawa nilai untuk perusahaan atau tidak”. Ya sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur, kita tidak bisa merubah masa lalu akibat sistem pendidikan ataupun model kepemimpinan tetapi kita bisa merubah cara kita memimpin organisasi kita mulai hari ini.
Untuk menghasilkan orang-orang yang kreatif dan engaged, manajer harus mulai mengalihkan fokusnya ke visi daripada ditel pelaksanaan pekerjaan dan memberi ruang ambiguitas agar orang-orang yang bekerja bisa leluasa berkreasi.
Di salah satu tim Scrum di Australia yang pernah saya coaching, salah seorang anggota timnya pernah menceletuk ketika Product Owner-nya sedang memaparkan requirement yang dia inginkan:
Ok that is too much details already, please leave some room of ambiguity in the requirement so that we can be creative. You just focus on the goal.
Dalam sekejap saya terdiam terkesima mendengar celetukan tersebut. Bagaimana dengan Indonesia? Hampir semua (bila bukan semua) software developer di Indonesia justru akan mengatakan sebaliknya:
Wah maksudnya apa nih? Requirementnya kurang detail nih. Gw gak ngerti maksudnya apa. Tolong didetilkan lagi dong.
Manajer memegang peranan penting dan harus tahu apa tujuan (goal) dari organisasi dan proyek yang ia pegang agar orang-orang di dalam organisasinya dapat menjadi lebih engaged karena orang-orang yang engagedakan menjadi orang-orang yang kreatif.

2. Manajer di Indonesia sering kali tidak menghargai proses

Kebanyakan orang Indonesia lebih berorientasi pada hasil, bukan proses. Ketika tren pekerjaan di belahan dunia lain sedang bergerak ke arah Scrum Master yang lebih berorientasi pada proses, perusahaan-perusahaan di Indonesia terlalu lama tidur terlelap dan lebih memilih manajer proyek yang berorientasi pada hasil. Manajer yang baik akan lebih berorientasi pada proses dan perkembangan (progress) dan bukan hanya hasil, karena manusia adalah mahluk yang berkembang melalui tahapan dan proses. Manajer yang baik akan sabar dalam menunggu perkembangan di dalam organisasi yang ia pimpin.
Salah satu bentuk ketidak-sabaran para manajer yang sering saya lihat adalah menunggu perkembangan kedewasaan dari tim Scrumnya. Berkaitan dengan poin sebelumnya, ketika manajer berpindah haluan dari memberi instruksi secara rinci menuju ke penyebaran visi, apakah timnya akan langsung memahami cara kerja baru ini? Kemungkinan besar tidak. Kemungkinan besar timnya bisa kembali ke jalan berpikir yang tradisional apabila visi tersebut tidak secara berulang-ulang di-reinforce oleh manajer. Sama ketika anak saya baru belajar berjalan, ia berkali-kali jatuh. Tetapi sebagai orang tua kita selalu membantu ia untuk terus bangkit sampai akhirnya jalannya stabil. Oleh karena itu kita sangat jarang sekali melihat Scrum menjadi sebuah kultur kerja di Indonesia, karena para manajernya tidak sabar untuk menunggu perubahan terjadi di organisasinya dan me-reinforce visi dan alasan organisasi menggunakan Scrum secara berulang-ulang kepada para anggota timnya.
Dalam sebuah meeting dengan para pimpinan perusahaan, saya pernah memberi tahu mereka bahwa sebagai pemimpin mereka harus melindungi anggota timnya dan sabar menunggu kultur kerja Scrum melekat dalam tim dan proses maturity team karena perubahan dan manfaat yang didapatkan dari Scrum tidak akan terjadi dalam semalam. Namun responnya cukup mengecewakan, mereka mengatakan kepada saya: “Tapi bagaimana dong Pak, pimpinan sudah memberikan deadline dan tekanan kepada kami”. Kultur otoriter model top-down tanpa peduli dengan proses dan mengharapkan sesuatu yang instan sudah terlalu kental dan melekat dalam perusahaan tersebut sampai seorang middle-level manager pun takut untuk berbuat hal yang benar untuk orang-orang di dalam organisasinya. Ia bukannya menggunakan otoritas yang ia miliki untuk melindungi timnya namun justru meneruskan tekanan dan sifat otoriter tersebut ke bawah lagi. Dan setelah saya gali lebih dalam, ternyata turnover di perusahaan tersebut tergolong sangat tinggi. Orang-orang di dalam organisasi tersebut berisi para penakut yang merasa tidak bahagia bekerja disitu. Dan kalaupun mereka masih bertahan disitu, alasannya adalah UANG tetapi mereka tidakengaged sama sekali dengan perusahaan.
Manajer-manajer di Indonesia hampir selalu fokus pada deadline dan hasil, seolah-olah manusia hanyalah resource. Oleh karena itu saya berpendapat bahwa budaya continuous learning adalah sesuatu yang sangat eksklusif dan tidak ada harganya di Indonesia. Continuous learning merupakan investasi jangka waktu panjang yang akan menghasilkan orang-orang yang kreatif dan tidak pernah puas dengan state of the art. Orang-orang seperti itu menjadikan organisasi sebagai knowledge organisation.

3. Manajer di Indonesia belum membuat lingkungan kerja sebagai tempat yang aman untuk gagal

Manajer terlalu terbosesi untuk mengukur orang-orangnya yang sebenarnya tidak bisa diukur sama sekali dengan satuan apapun karena manusia bukanlah mesin yang bisa diprediksi dan bisa diukur, manusia adalah ciptaan Tuhan yang unik yang tidak bisa distandarisasikan lewat metrik apapun juga. Ketika sebuah metrik digunakan sebagai acuan, orang-orang yang mengerjakan pekerjaan tersebut hanya akan berperilaku sesuai dengan target yang sudah ditetapkan dan mengesampingkan hal-hal lainnya yang mungkin lebih penting dalam proses pengerjaan pekerjaan, seperti kreatifitas, kolaborasi dan excellence. Itu adalah sifat alami manusia.
If you give a manager a numerical target, he’ll make it, even if he has to destroy the company in the process. — W. Edwards Deming.
Metrik yang sering digunakan oleh manajer adalah berapa banyak pekerjaan yang bisa diselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan, yang sebenarnya sudah tidak relevan lagi di era internet ini. Ketika manajer menggunakanon-scope dan on-time sebagai metrik produktifitas tim, apakah mereka akan mendapatkannya dari orang-orang yang mengerjakannya? Kemungkinan mereka akan mendapatkannya. Tetapi mereka juga akan mendapatkan banyak hal lainnya yang dapat menghancurkan perusahaan.
  1. Defect atau fitur yang ternyata tidak sesuai yang diharapkan oleh pengguna yang baru ketahuan pada saat user acceptance test (UAT) — defect sendiri bisa disebabkan oleh poin berikutnya;
  2. Software developer yang harus banyak lembur untuk mencapai target tersebut — lembur sendiri adalah salah satu faktor penyebab low engagement dan high turnover di industri teknologi informasi di Indonesia dan;
  3. Karena sering lembur, banyak software developer yang membenci pekerjaannya (low morale) dan;
  4. Respek yang rendah dari orang-orang yang bekerja dengan dia dan;
  5. Software developer yang mengembangkan fitur sesuai dengan instruksi saja, tidak kreatif dan tidak berkolaborasi dengan pengguna untuk meningkatkan value dari produk — demikian juga sebaliknya pengguna yang tidak mau berkolaborasi karena berkolaborasi dengan software developer tidak masuk dalam metrik yang diukur oleh manajernya dan;
  6. Selain hanya bekerja sesuai instruksi, kode yang ditulis oleh programmer kotor dan sulit untuk dimaintain karena mereka harus kejar tayang dan;
  7. Software developer individualis, egois dan tidak berkolaborasi dengan fungsi lainnya seperti business analyst, tester, programmer lainnya di dalam organisasi untuk mengembangkan sebuah fitur. “Itu kan bukan pekerjaan gw, itu kan pekerjaan tester, itu kan pekerjaan business analyst”. “Aduh gw masih banyak proyek lain yang menunggu dan sudah ada deadline lagi nih, nanti dulu deh”.
Software developer tidak berkolaborasi dan bekerja terkotak-kotak hanya karena kolaborasi tidak masuk dalam Key Performance Indicator (KPI)mereka. KPI ini telah berhasil menghasilkan orang-orang yang jago untuk memanipulasi metrik, enggan untuk berkolaborasi, menunggu perintah, takut untuk gagal, takut untuk berpikir out-of-the-box karena bila idenya gagal mereka akan disalahkan dan kesalahan mereka akan berdampak padaperformance appraisal di akhir tahun. Daripada engaged dan memberikan ideout-of-the-box, mereka memilih untuk menjadi orang-orang yang pasif, lebih suka tinggal di zona nyaman dan mengikuti arus saja asalkan gaji bulanan lancar karena organisasi tempat dia bernaung bukanlah organisasi yang aman untuk gagal (safe to fail).
Ketika orang-orang di dalam organisasi mendapatkan dukungan untuk berkolaborasi, merasa aman (untuk gagal) dan dapat membawa seluruh dirinya apa adanya, mereka bersama dapat menciptakan banyak hal kreatif.
Daripada mengukur orang-orang di dalam organisasi, seharusnya manajer-manajer di Indonesia mulai fokus untuk memberikan coaching seperti yang dilakukan oleh Scrum Master dan bekerja sama dengan Human Resource Department (HRD) untuk membuang metrik dan KPI yang tidak bermanfaat agar timnya dapat merasa aman (untuk gagal) karena inovasi berasal dari beberapa kegagalan. Manajer seharusnya mulai menghabiskan banyak waktu untuk mengembangkan potensi orang-orang di organisasinya agar perusahaan dapat bergerak lebih cepat lagi daripada menghabiskan waktu men-judge orang-orang lewat metrik-metrik yang tidak berguna dan justru menghambat orang-orang untuk menjadi kreatif. Tapi bagi manajer, mengukur dan men-judge orang jauh lebih mudah daripada memberikancoaching yang memakan waktu lama dan membutuhkan kesabaran.

4. Manajer menginginkan kepastian di dunia yang penuh dengan ketidakpastian

Sebagaimana saya paparkan di poin sebelumnya, di industri teknologi informasi di Indonesia, metrik yang sering digunakan oleh para manajer adalah time vs scope dan pertanyaan yang sering ditanyakan oleh para manajer kepada software developer adalah: “butuh berapa hari untuk mengerjakan fitur ini?”. Namun sering kali estimasi yang diberikan olehsoftware developer dijadikan kontrak oleh para manajer. Beberapa hari kemudian manajer tersebut akan kembali menagih janji (estimasi) dari software developer. Estimasi seharusnya tetap menjadi estimasi yang memiliki ruang ketidak-pastian, bukan kontrak yang memiliki kepastian.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Compustat, industri software termasuk salah satu industri yang memiliki banyak ketidak-pastian, dengan berada di urutan ketiga sebagaimana yang ditunjukkan oleh tabel disamping. Membangun software tidaklah sama dengan membangun rumah. Orang yang membangun rumah adalah kuli bangunan, orang yang membangun software adalah software developer.Software developer tidak sama dengan kuli bangunan. Ada banyak ketidak-pastian pada saat membangun software, baik dari sisi teknologi yang digunakan maupun dari sisirequirement yang diminta oleh pengguna yang secara tidak langsung banyak dipengaruhi oleh perubahan di pasar yang begitu cepat.
Lalu apa akibatnya dari meminta kepastian dari jenis pekerjaan yang memiliki banyak kepastian? Akhirnya sering kali kita menemukan software developer memberikan buffer di atas estimasi yang mereka berikan kepada manajernya, agar mereka aman. Dan tidak jarang manajer memberikanbuffer lagi di atas estimasi yang diberikan oleh software developer kepada pengguna. Akhirnya terjadi buffer yang berjenjang.
Daripada sibuk mengharapkan kepastian dari sesuatu yang pada dasarnya memiliki banyak ketidak-pastian dan pada akhirnya justru mendapatkan ketidak-transparansian, manajer sebaiknya mengakui adanya ketidak-pastian tersebut di dunia software development dan mulai fokus pada peningkatan transparansi informasi agar setiap pihak dapat berkolaborasi. Manajer IT di Indonesia seharusnya fokus pada Continuous Delivery guna membantu timnya untuk dapat memperpendek Cycle Time dari keseluruhan alur proses sebagaimana yang dilakukan oleh Scrum Master.

5. Manajer masih suka menggunakan kekuatan politik dalam membuat keputusan

Dalam dunia kedokteran, semua keputusan yang dibuat tidak boleh didasari oleh asumsi. Semua keputusan yang dibuat harus berdasarkan fakta di lapangan dan hasil penelitian yang dapat dipertanggung-jawabkan. Keputusan yang dibuat tidak boleh berdasarkan anekdot yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah.
Untuk industri yang memiliki banyak ketidak-pastian, metode evidence based management yang lebih menekankan empirisme lebih tepat guna daripada metode prediktif seperti Waterfall. Berkaitan dengan poin sebelumnya, banyak manajer di Indonesia yang masih menggunakan metrik yang tidak tepat dalam membuat keputusan. Tidak jarang juga, manajer yang tidak tahu metrik evidence based management apa yang harus digunakan, cenderung menggunakan political will yang ia miliki dan gut feeling dalam membuat keputusan.
Organisasi yang menekankan posisi dan jabatan akan menggunakan posisi dan jabatan pada saat konflik terjadi, yang menjadi pemenang dalam konflik adalah yang memiliki jabatan lebih tinggi. Pengambilan keputusan berdasarkan kekuatan politik tidak akan menghasilkan orang-orang yangengaged dengan pekerjaannya, namun justru sebaliknya. Perusahaan yang lebih sering menggunakan kekuatan politik dalam mengambil keputusan akan menghasilkan orang-orang yang jago dalam berpolitik. Orang-orang yang jago dalam berpolitik cenderung sulit untuk berkolaborasi. Orang-orang yang tidak memiliki kekuatan politik akan duduk diam dengan manis karena ia tahu ia akan selalu kalah dalam diskusi. Dan akhirnya banyak orang yang puas dengan status-quo karena mayoritas akan memilih untuk diam. Dan akhirnya organisasinya menjadi status-quo organisation dan bukanknowledge organisation.
Manajer harus belajar untuk melepaskan otoritas yang ia miliki kepada orang-orang yang berada dibawahnya agar ia bisa mendapatkan engagementdari timnya. Manajer harus belajar untuk mulai melibatkan timnya dan melepaskan kekuatan politik dalam pembuatan keputusan-keputusan sulit karena orang-orang lebih berkomitmen terhadap keputusan dimana ia juga turut memiliki kontribusi.

Bila software developer (hampir) selalu di-judge tidak memiliki performa yang baik dan dapat diganti bila mereka tidak memenuhi metrik on-timedan on-scope yang telah ditetapkan oleh manajemen, maka manajer seharusnya juga bisa di-judge tidak memiliki performa yang baik dan dapat diganti apabila organisasi yang mereka pimpin memiliki low employee engagement karena itu adalah ruang lingkup pekerjaan mereka. Dan bila mereka tidak mau diganti, setidaknya mereka mau menginvestasikan waktu untuk meng-upgrade diri dan mengganti cara mereka berinteraksi dengan timnya. Memang permasalahan low employee engagement, yang menyebabkan banyak kerugian untuk perusahaan, ini adalah permasalahan yang kompleks. Namun permasalahan ini bisa dipecahkan setahap demi setahap dengan dimulai dari meng-upgrade manajer terlebih dahulu karena mereka adalah orang-orang memiliki otoritas untuk menjadi change agent danmembuat perubahan di dalam organisasinya. Perilaku orang-orang di dalam organisasi dapat berubah apabila manajer atau pimpinannya terlebih dahulu berubah.
Bila anda adalah seorang software developer yang memiliki manajer yang anda rasa perlu di-upgrade namun pada saat yang bersamaan anda merasa bahwa diri anda adalah seorang kecil yang tidak akan didengar dan anda menganggap tulisan ini dapat membantu manajer anda untuk menjadi manajer yang lebih baik, silahkan kirimkan tulisan saya ini ke mailing list kantor anda, retweet, share di social media, dipublikasikan kembali di blog anda, dsb dan berdoa agar semakin banyak manajer (IT) di Indonesia yang terbangun dari tidurnya yang lelap dan tersadar kalau cara mereka mengelola organisasi sudah ketinggalan jaman dan perlu di-upgrade.
Mungkin Scrum dapat menjadi salah satu pilihan para manajer untuk dapat meningkatkan employee engagement di organisasi mereka. Semoga semakin banyak manajer di Indonesia yang aware kalau Scrum adalah sebuah kultur kerja dan modern management practice bukan metodologi pengembangan software saja. Dan semoga bagi perusahaan yang merasa sudah menggunakan Scrum namun employee engagement di perusahaan masih sangat rendah, hal ini dapat memvalidasi bahwa mereka cuma melakukan mekanika Scrum saja dan tidak menerapkan Scrum hingga akarnya karena prinsip dan pola pikir Scrum belum tertanam di dalam organisasi.
Semoga semakin banyak juga manajer-manajer di Indonesia yang mau membuka diri terhadap pola pikir baru dan meng-upgrade diri mereka agar menjadi relevan terhadap dunia yang sudah berubah cepat dalam dua dekade terakhir. Namun bila anda telah berdoa, berusaha semaksimal mungkin namun manajer anda masih juga tidak mau belajar, silahkan ganti saja manajer anda dengan yang baru, karena saya selalu ingat nasihat seorang mentor saya:
If you can’t change your manager, change your manager.



sumber

0 comments: