Domble baru berusia 5 tahun, tapi ia waskito, alias dikaruniai ilmu weruh sakdurunge winarah, alias sudah tahu bakal datangnya sebuah peristiwa sebelum kejadian terjadi. Suatu malam ia bermimpi aneh, sampai ia terbangun dari tidurnya. Dalam mimpinya, ia melihat kakek dari pihak ayahnya mati. Dia sampai terbangun dari tidurnya.
“Ayah, saya mimpi kakek mati,” kata Domble, pada ayahnya, sebut saja namanya Matsarap.
“Sudahlah, itu hanya bunga tidur. Ayo, tidur lagi!” kata Matsarap.
Mereka tidur lagi. Ajaibnya, pada pagi harinya, Matsarap mendapatkan telepon bahwa ayahnya mati terkena darah tinggi.
Tujuh hari kemudian, pada sebuah malam, Domble mimpi lagi. Ia melihat ibu ayahnya mati. Ia pun terbangun.
“Ayah, saya mimpi nenek mati,” kata Domble pada ayahnya.
“Hanya bunga tidur. Ayo tidur lagi, hari masih malam,” tandas Matsarap.
Mereka pun tidur lagi. Keeseokan harinya, Matsarap disuruh saudaranya datang ke rumah orang tuanya. Pasalnya, ibunya ‘kleleken’ sendok dan harus ‘good bye’ pada dunia.
Sepuluh hari kemudian, si balita Domble mimpi lagi. Ia sampai terbangun dari tidurnya.
“Saya mimpi ayah mati,” terang Domble.
“Sudahlah, itu hanya kembang tidur. Mimpi bohong. Ayo tidur lagi,” pinta Matsarap.
Domble bisa tidur lagi, tapi sampai pagi mata Matsarap tak bisa dipejamkan. Matanya terus saja menatap langit-langit kamarnya. Ia ketakutan sendiri, jangan-jangan dia akan segera mati.
Pagi harinya, Ibu Domble datang dari pasar dan menangis meraung-raung.
“Ada apa, Bu. Menangisnya kayak kehilangan anak atau suami?” tanya si suami, Matsarap.
“Dulkapir, tetangga kita yang tukang becak dan sering mengantarkan saya berbelanja itu, mati kena angin duduk,” terang Ibu Domble.
“Ayah, saya mimpi kakek mati,” kata Domble, pada ayahnya, sebut saja namanya Matsarap.
“Sudahlah, itu hanya bunga tidur. Ayo, tidur lagi!” kata Matsarap.
Mereka tidur lagi. Ajaibnya, pada pagi harinya, Matsarap mendapatkan telepon bahwa ayahnya mati terkena darah tinggi.
Tujuh hari kemudian, pada sebuah malam, Domble mimpi lagi. Ia melihat ibu ayahnya mati. Ia pun terbangun.
“Ayah, saya mimpi nenek mati,” kata Domble pada ayahnya.
“Hanya bunga tidur. Ayo tidur lagi, hari masih malam,” tandas Matsarap.
Mereka pun tidur lagi. Keeseokan harinya, Matsarap disuruh saudaranya datang ke rumah orang tuanya. Pasalnya, ibunya ‘kleleken’ sendok dan harus ‘good bye’ pada dunia.
Sepuluh hari kemudian, si balita Domble mimpi lagi. Ia sampai terbangun dari tidurnya.
“Saya mimpi ayah mati,” terang Domble.
“Sudahlah, itu hanya kembang tidur. Mimpi bohong. Ayo tidur lagi,” pinta Matsarap.
Domble bisa tidur lagi, tapi sampai pagi mata Matsarap tak bisa dipejamkan. Matanya terus saja menatap langit-langit kamarnya. Ia ketakutan sendiri, jangan-jangan dia akan segera mati.
Pagi harinya, Ibu Domble datang dari pasar dan menangis meraung-raung.
“Ada apa, Bu. Menangisnya kayak kehilangan anak atau suami?” tanya si suami, Matsarap.
“Dulkapir, tetangga kita yang tukang becak dan sering mengantarkan saya berbelanja itu, mati kena angin duduk,” terang Ibu Domble.
0 comments:
Post a Comment