Sunday, January 27, 2013

Kekonyolan Muhammad Rizky (TV One) Ketika Mewawancarai Jokowi


Anchor atau penyaji berita TV One, Muhammad Rizky mungkin sangat terobsesi untuk bisa tampil setaraf atau melebihi Najwa Shihab dari Metro TV yang terkenal dengan pertanyaan-pertanyaan yang tajam dan kritis kepada narasumbernya, di acara Mata Najwa. Upaya itulah yang tampaknya dia lakukan ketika mewawancarai Gubernur DKI Jakarta, Jokowi di acara Berita Khusus TV One, Senin, 21 Januari 2013. Tetapi, yang terjadi adalah sebaliknya. Hampir separoh dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan bukan kritis, tetapi krisis, alias tak bermutu. Bahkan banyak di antaranya sudah bukan lagi pertanyaan untuk menggali visi dan misi Jokowi  dalam mengatasi persoalan banjir di Jakarta, tetapi adalah ke-ngotot-an Muhammad Rizky, mendesak Jokowi untuk menjawab seperti yang dikehendakinya. Bukan lagi wawancara, tetapi interogasi. Tentu saja, Jokowi tidak segampang itu terpancing.
Wawancara TV One dengan Jokowi ini bukan hanya menjadi masalah, karena TV One ternyata ingkar janji terhadap Jokowi, tetapi menjadi masalah karena wawancara Muhammad Rizky dengan Jokowi itu jauh dari bermutu.
Ketika diajukan permohonan wawancara oleh TV One, Jokowi mengatakan bahwa dia hanya mau diwawancara apabila yang dibicarakan itu hanya persoalan banjir, bukan melebar ke masalah-masalah lain. Dan, juga tidak menghadirkan pihak lain dalam wawancara tersebut. Kenyataannya, TV One mengingkari semua itu, seperti yang dapat kita baca dari laporan Kompasiner Akang Jaya, “Kelar Shooting, Jokowi Damprat TV One.
Tetapi, dasarnya Jokowi yang sangat penyabar, dia tetap saja mau mau meladeni acara yang telah menyimpang dari komitmen itu. Seandainya itu Ahok, mungkin lain lagi yang terjadi. Apalagi ketika menghadapi pertanyaan-pertanyaan “menyebalkan” dari Muhammad Rizky itu. Ingat, mahasiswa naif yang langsung kena damprat Ahok, ketika menagih “janji” Jokowi-Ahok untuk menata ulang perizinan minimarket?
Menjawab pertanyaan Muhammad Rizky, Jokowi menjelaskan bahwa guna dia langsung sering blusukan, turun ke lapangan adalah untuk melihat langsung persoalannya bagaimana di sana. Setelah mengenal persoalan di lapangan, apa saja yang dibutuhkan segera, maka dia akan membuat keputusan-keputusan lapangan. Seperti di tanggul Latuharhary.
“Kalau tidak diputuskan di lapangan, kita tidak mengerti kebutuhannya apa. Berapa ribu kubik batu dan pasir yang dibutuhkan, berapa personil yang dibutuhkan, pagi, siang, malam untuk menyelesaikan keadaan darurat ini …”
Muhammad Rizky masih bertanya lagi, “Kenapa, Bapak yang harus memutuskan, ‘kan Bapak punya jajaran di bawahnya? Tidak cukup level Kepala Dinas, begitu, Pak? “
Meskipun, sudah dijawab Jokowi bahwa untuk posisi-posisi tertentu yang dinilai sangat penting dia handle langsung untuk membuat suatu keputusan. Setelah itu baru diserahkan ke dinas-dinas jajaran di bawahnya. Eh, si Rizky itu malah masih ngotot, bertanya lagi dia, “.. Itu gaya anda yang fenomenal, ya, Pak. Anda selalu datang sendiri melihat ke lapangan.  Tapi, orang kemudian berpikir, apakah anda ini tidak percaya kepada jajaran anda?”
Padahal yang dimaksud dengan “orang kemudian berpikir, apakah anda ini tidak percaya kepada jajaran anda,” kemungkinan besar hanya dia sendiri. Orang lain tidak berpikir begitu.
Jokowi terpaksa menjelaskan lagi bahwa dia itu percaya sama jajarannya. Tetapi, bukankah untuk memutuskan persoalan-persoalan penting itu dia harus benar-benar mengetahui kondisi di lapangan. Supaya memutuskan itu jangan keliru. “Seperti di Latuharhary ini, kalau tidak langsung ke lapangan, bagaimana bisa mengetahui berapa batu yang dibutuhkan, berapa pasir yang dibutuhkan …”
Tapi, anchor TV One yang satu ini belum mau menyerah, alias ngotot bin ngeyel. Dia masih belum puas mempersoalkan gaya kepimpinan Jokowi yang sering blusukan itu, meskipun sudah dijelaskan seperti itu. Dia masih bertanya lagi, “Menurut Pak Jokowi, itu (memang) harus Gubernur langsung?”
Jokowi dengan penuh kesabaran menjawab, “(Iya) langsung. Karena ini membutuhkan power. Sekarang, kita perlu ke Kodam, Marinir, ke Kapolda langsung, ke Kopassus, .. Siapa kalau bukan.. (Gubernur). … Saya harus berada pada posisi yang bertanggung jawab pada posisi ini.”
*
Mengenai penghuni-penghuni liar di bantaran kali, yang menutup jalur aliran air sungai, Muhammad Rizky bertanya, “Untuk masyarakat yang tinggal di bantaran kali atau di titik banjir tiap tahun yang tidak mau pindah. Itu bagaimana?”
Jokowi menjawab bahwa itu semua sudah di dalam perencanaan Pemprov DKI, dengan melakukan pendekatan tertentu, Jokowi yakin mereka akan mau pindah. Tetapi, dengan adanya banjir besar yang melanda Jakarta ini, maka, setelah masalah banjir selesai, upaya pemindahan itu akan dipercepat.
Entah karena kurang tidur, atau apa, Rizky malah bertanya, “Kenapa setelah ada banjir baru mau dilaksanakan?”
Jokowi terpaksa menjelaskannya ulang.
*
Ketika topik pembicaran beralih ke persoalan tata kelola dan tata ruang kota Jakarta. Jokowi menilai bahwa tata ruang kota Jakarta sudah terlalu kronis. Terlalu banyak daerah-daerah yang seharusnya tidak boleh dibangun bangunan, seperti mall, perumahan, dan apartemen, tetapi sudah telanjur dibangun semuanya itu.
“… Seharusnya, kalau sudah untuk ruang terbuka hijau, ya untuk ruang terbuka hijau. Kalau itu untuk daerah resapan air, ya, untuk daerah resapan air, kalau untuk hutan magrove, ya, untuk hutan magrove, bukan jadi rumah, apartemen, mall, dan sebagainya,” kata Jokowi.
Atas dasar pernyataan Jokowi itu, Muhammad Rizky mengejar Jokowi dengan pertanyaan, kalau begitu, apakah mall-mall, perumahan-perumahan, dan apartemen-apartemen yang menyalahi aturan tata ruang kota Jakarta itu semua akan ditutup. “Kan demi kepentingan rakyat banyak (Jakarta), Pak?”
Jokowi menjelaskan, “Tapi, kalau sudah terlanjur mall-nya ada, apartemennya ada, properti perumahan ada, sudah telanjur ada, ya, mau diapain?”
“Walaupun itu menyalahi aturan tata ruang kota, ruang terbuka hijau, Pak? … Menyebabkan banjir?” Tanya Rizky.
Jokowi: “Iya, saya mau tanya, kalau sudah terlanjur (ada). Mau diapain? (Yang penting) yang setelah ini, jangan. Kalau sudah terlanjur, masyarakt sudah ribuan … Pemiliknya sudah bukan developer lagi, tapi masyarakat …”
Rizky mengejar, “Oke, tapi yang di kampung hulu, ‘kan Bapak pindahkan paksa, karena mengganggu aliran sungai. ‘Kan mau dipindahkan? Supaya terbuka? Nah, mereka-mereka yang di bangunan apartemen mewah yang menyalahi aturan? Mereka (juga harus) pindah. Pengembangnya disuruh bertanggung jawab, gitu!”
“Biasanya mereka itu sudah pegang izin. Tetapi, secara tata ruang, — semua orang sudah mengerti – saya tidak usah cerita (lagi) … tapi, mereka sudah pegang izinnya.” Jokowi menekan pada kalimat terakhirnya. Maksudnya supaya si Rizky itu mengerti, bahwa adalah sangat tak mungkin sedemikian banyak mall, perumahan, dan apartemen (mewah) yang sudah terlanjur ada bertahun-tahun (puluhan tahun) itu, dengan alasan telah dibangun menyalahi aturan tata ruang kota Jakarta, langsung begitu saja oleh Gubernur DKI Jakarta Jokowi mau ditutup paksa, semua penghuninya digusur, kemudian semua bangunan itu dirobohkan rata dengan tanah, terus dikembalikan menjadi ruang terbuka hijau, daerah resapan, atau lainnya.
Jokowi juga sudah menjelaskan bahwa yang penting mulai sekarang, semua harus mematuhi aturan tata kota yang dibuat Pemprov DKI Jakarta. Kalau ada yang melanggar, pasti ditindak, termasuk ditutup/dibongkar.
Secara fisik saja, tidak mungkin hal itu dilakukan. Menggusur semua penghuni perumahan, aparteman, dan mall itu? Kalau bukan gagasan sinting, lalu apa? Entah berapa triliun rupiah yang harus dikeluarkan, dan berapa tahun waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan semua mall, perumahan, dan apartemen itu menjadi daerah terbuka hijau, dan sebagainya itu.
Lebih rumit dan tak masuk akal lagi pada aspek hukumnya. Meskipun pembangunan-pembangunan itu banyak yang menyalahi aturan tata ruang kota, tetapi yang memberi izin pembangunan tersebut adalah pemerintah sendiri. Kepemilikan properti-properti di dalamnya juga sudah bukan milik developer lagi, melainkan sudah terpecah-pecah menjadi ratusan ribu, atau bahkan jutaan nama/orang pribadi, maupun perusahaan-perusahaan swasta nasional, maupun asing.
Namun, lagi-lagi Muhammad Rizky menampilkan ke-ngototan-nya, seperti murid SD tidak bisa mengerti, dia masih terus mendesak Jokowi,  “Tetapi, bukankah Bapak katanya selalu berjuang demi kepentingan rakyat. Nah, kalau ini ternyata menyusahkan masyarakat Jakarta, banjir, Pak … Hanya segelintir orang yang dibela!”
Padahal Jokowi tidak membela siapa-siapa.
Seolah-olah dia ingin Jokowi menjawab, “Iya, saya akan menggusur (paksa) semua penghuni perumahan-perumahan (mewah) itu, mall-mall itu, dan juga semua penghuni apartemen-apartemen (mewah) itu. Setelah menggusur semua. Saya akan merobohkan semua bangunan itu. Kemudian di lokasi itu, saya akan membangun ruang terbuka hijau, daerah resapan …”
Muhammad Rizky malah menganalogikan status penghuni perumahan-perumahan, apartemen-apartemen, dan mall-mall itu dengan SPBU! Kata dia, kalau SPBU-SPBU yang dibangun menyalahi tata ruang kota, kan bisa digusur. Kenapa mereka itu (penghuni perumahan, apartemen dan mall), tidak bisa.
Dia juga membandingkan status para penghuni liar di bantaran kali-kali itu yang namanya saja penghuni liar pasti tidak punya bukti-bukti hak apapun,  dengan status para penghuni perumahan, apartemen, dan mall itu, yang jelas-jelas menjadi pemilik/penghuni yang sah secara hukum. Punya sertifikat sah hak atas tanah/bangunannya. Kata Rizky, “Kalau mereka (penghuni liar di bantaran kali) bisa digusur paksa Pemprov DKI, kenapa yang di perumahan, apartemen, dan mall itu, tidak bisa?”
Maka dengan kesabarannya yang luar biasa, Jokowi terpaksa lagi menerangkan dengan lebih detail dan sederhana, “Tapi itu ‘kan izinnya sudah dipegang. Izinnya ada. Kemudian saya stop. Saya di-PTUN, kemudian kalah?  … Karena ini menyangkut hukum. Iya, ‘kan. Tidak semudah itu. Apapun yang hendak kita lakukan, semuanya harus terkalkulasi dengan baik. Saya tidak mau menabrak-nabrak. Kemudian menambah musuh di sana-sini. Itu bukan tipikal saya. Tapi, kalau (berikutnya) itu melanggar hukum, saya bilang tidak, ya, tidak!”
Ketika Rizky masih mau meneruskan persoalan yang sudah kadung terjadi itu, dan tak mungkin lagi dikembalikan ke awalnya lagi itu, Jokowi dengan bijak memotong, dan berkata, “Sekarang, lebih baik kita bicarakan ke depan-lah!”
*
Mengenai rencana pembangunan 6  ruas jalan tol, Jokowi menjelaskan bahwa persetujuan terhadap pembangunannya masih dipikirkan. “Masih dipikirkan, kemungkinan tidak semuanya. .. Masih dalam kalkulasi. Pada saatnya kita umumkan. Ada yang lebih banyak plusnya, ada yang lebih banyak negatifnya.”
“Negatifnya banyak? Berarti mudarat, ya, Pak? Kalau begitu, kenapa Bapak menyetujuinya, Pak?” Kata Rizky sambil tertawa. Seolah-olah menertawai Jokowi yang dianggapnya tidak konsisten. Padahal, jelas-jelas Jokowi sudah bilang, masih dipikirkan, belum diputuskan.
Jokowi spontan menjawab, “Nggak, saya ‘kan bilang, ini kan kita masih kalkulasi lagi. Kita pikirkan lagi. Dari  uji publik yang kemarin kita lakukan … Di situ ada masukkan yang masuk banyak sekali. Dari situ akan kita kaji dan kemudian putuskan.”
Uji publik yang dimaksud Jokowi adalah debat terbuka yang diadakan Jokowi di Balai Kota DKI, di awal Januari 2013, dengan mengundang mereka yang pro dan kontra pembangunan 6 ruas jalan tol itu, termasuk pihak developer, yakni Jakarta Road Development. Pada waktu itu pihak Jakarta Road Development diminta melakukan presentasi di hadapan pihak Pemprov DKI dan elemen-elemen masyarakat yang hadir.
Jokowi juga menjelaskan, bahwa sebenarnya, hasil dari kajian tersebut akan diumumkan pada minggu-minggu ini juga, tetapi karena musibah banjir akhirnya ditunda.
Namun, di akhir acara, Sejarahawan JJ Rizal, masih mempermasalahakan, kenapa Jokowi  belum juga memutuskan masalah perizinan pembangunan 6 ruas jalan tol itu.
*
Jokowi bilang, setelah banjir, dia akan tetap blusukan. Sampai lima tahun masa jabatannya selesai.
Kemudian disambar oleh Rizky, “(Blusukan terus), Tapi harus ada hasilnya, dong, Pak! Harus ada hasil nyata!”
Jokowi menjawab, “Blusukan itu, kita dapat data langsung, kita dapat dengar keluhan masyarakat langsung. “
Rizky: “Bisa mendengar langsung, berarti harus bisa menyelesaikan masalah yang didengar itu, dong?!”
“Iya, saya kalau datang ke suatu tempat itu harus ada data-data yang saya bawa. Bukan asal blasa-blusu-blasa-blusu,” Jokowi menjelaskan.
Maksud Jokowi adalah ketika dia blusukan ke lokasi-lokasi tertentu itu, bukan asal blusukan begitu saja, tetapi semua itu sebelumnya berdasarkan data-data yang diterimanya. Bahwa daerah-daerah tertentu itu memang ada masalah yang mesti ditinjau langsung, agar bisa dicari solusinya.
Tidak mengerti, atau pura-pura tidak mengerti,  Rizky bertanya, “Jadi, itu Bapak sudah pilih-pilih itu blusukan-nya itu?”
Jokowi harus bersabar lagi untuk menjawab, “Bukan pilih-pilih. Itu ‘kan ada data-data dulu. Dan, kalau di situ ada masalah, itu yang saya datangi.”
Belum puas, Rizky masih terus mengejar dengan pertanyaan konyolnya, “Berarti, yang anda datangi itu pasti ada masalah? Dan, masalahnya itu harus selesai pada waktu itu juga, ketika anda datang?!”
Memangnya dia pikir permasalahan-permasalahan di Ibukota Negara ini masalah-masalah kecil, jadi begitu datang, Jokowi langsung bisa menyelesaikannya?
Lagi-lagi Jokowi masih bersabar meladeni pertanyaan konyol itu, “Kalau bisa selesai ya, kita selesaikan. Kalau tidak, memerlukan waktu satu tahun, ya, kita selesaikan satu tahun.”
Ketika diwawancarai Majalah Tempo (Tempo Edisi 27 Januari 2013), Jokowi mengatakan bahwa dia bersama Wagub Ahok mempunyai suatu tim kecil yang terdiri dari beberapa profesional muda non-parpol yang antara lain bekerja mengumpulkan data dan mengidentifikasi masalah untuk dirinya dengan Ahok. Berdasarkan data seperti itulah dia melakukan blusukan-blusukan-nya.
*
Berbicara soal mengatasi kemacetan lalu-lintas di Jakarta, Jokowi menjelaskan, penyebabnya adalah rasio ruas jalan dan jumlah kendaraan bermotor, mobil, maupun motor yang tidak seimbang. Setiap satu orang membawa satu kendaraan. Solusinya adalah harus ada perbaikan dan pengadaakn transportasi massal, busway-nya dikomplitin koridornya, dikomplotin bisnya, monorel-nya dijalankan, MRT-nya dijalankan. Itu pun harus diikuti dengan kebijakan, seperti masaah “genap-ganjil”, pajak parkir yang tinggi di tempat-tempat tertentu,   … diikuti kampanye untuk mendorong masyarakat agar mau naik angkutan transportasi massal.
“Kerja itu harus optimis! Tidak boleh pesimis!” Nasihat Jokowi kepada Muhammad Rizky, yang terus saja bicara, ‘apakah bisa begini, apakah bisa begitu.’
“Mana yang anda fokuskan, apakah monorel, atau …” Tanya Rizky.
“Semuanya … semuanya juga belum bisa menyelesaikan masalah.” Jawab Jokowi sambil tertawa.
“(Lho), terus …?” Rizky menampakkan wajah bingung.
Jokowi menerangkan, “Maksudnya itu mengurangi masalah, Kita ‘kan tidak mungkin langsung bisa menyelesaikankan masalah terus 100 persen, gitu lho. Meskipun  …”
Rizky memotong dengan sindiran yang tidak nyambung, yang sebetulnya bisa menyinggung perasaan Jokowi, “Oh, maksudnya, anda itu ingin dipilih lagi dua periode?”
Apa hubungannya? Emangnya, Muhammad Rizky si pembawa berita TV One itu mengira pembangunan penambahan koridor busway, penambahan armada bis, pembangunan monorel dan MRT bisa selesai dibangun dalam satu periode pemerintahan Jokowi-Ahok? Lalu, kalau sudah selesai, seperti disulap, masalah kemacetan dan transportasi massal di Jakarta selesai begitu saja?
Ucapannya kepada Jokowi, “Oh, maksudnya anda itu ingin dipilih dua periode?” merupakan pertanyaan yang tidak pantas diucapkan. Sangat tidak sopan. Sepanjang wawancara tersebut berlangsung, memang terkesan kuat Rizky tidak menaruh rasa hormatnya kepada Jokowi, baik sebagai seorang Gubernur DKI, maupun sebagai orang tua.
Bahkan Rizky terekam sempat keceplosan dengan menyebut Jokowi dengan sebutan “lu,” yang kemudian cepat-cepat diubah dengan “anda” (lihat di rekaman Youtube di bawah ini, di waktu 1:06:10)
Ucapan Rizky ini tidak ditanggapi Jokowi. Dia melanjutkan penjelasannya, “Meskipun busway-nya rampung, MRT-nya rampung, monorel-nya rampung, kebijakan rampung,tetapi kalau budaya kita semuanya masih pingin pegang mobil sendiri-sendiri . Ke mana-mana juga hanya mau pakai mobil sendiri, tidak mau pakai transportasi massal, yah, .. kemudian tidak ada kebijakan nasional untuk membatasi mobil dan motor …  Penyelesaian di hulu, tetapi di hilir tidak, maka semua itu akan sia-sia.”
Pertanyaan konyol pamungkas Muhammad Rizky kepada Jokowi: “Pak, kira-kira kapan Jakarta tidak banjir lagi?”  ** (sumber)



0 comments: